Makalah :
Peranan Keluarga/Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter Anak
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan merupakan tempat dimana seorang anak tumbuh dan
berkembang, sehingga lingkungan banyak berperan dalam membentuk kepribadian dan
karakter seseorang. Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan
lingkungan ini yang mempengaruhi perkembangan anak, setelah itu sekolah dan
kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun
oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Setiap keluarga selalu berbeda dengan
keluarga lainnya, dalam hal ini yang berbeda misalnya cara didik keluarga,
keadaan ekonomi keluarga. Setiap keluarga memiliki sejarah perjuangan,
nilai-nilai, dan kebiasaan yang turun temurun yang secara tidak sadar akan akan
membentuk karakter anak.
Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi
kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya
adalah keluarga yang penuh dengan konflik atau tidak bahagia. Tugas berat para
orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar aman, nyaman
bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat
menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya.
Dari beberapa paparan tersebut dapat di ambil kesimpulan
bahwa pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak karena
pertama kalinya mereka mengenal dunia terlahir dalam lingkungan keluarga dan
dididik oleh orang tua. Sehingga pengalaman masa anak-anak merupakan faktor
yang sangat penting bagi perkembangan selanjutnya, keteladanan orang tua dalam
tindakan sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak, membentuk
anak sebagai makhluk sosial, religius, untuk menciptakan kondisi yang dapat
menumbuh kembangkan inisiatif dan kreativitas anak. Dengan demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa peran kelurga sangat besar sebagai penentu terbentuknya
moral manusia-manusia yang dilahirkan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan diatas, pokok permasalahan yang saya angkat
adalah
:
1.
Apa fungsi keluarga?
2.
Bagaimana pengaruh keluarga terhadap perilaku moral anak?
3.
Bagaimana peran keluarga terhadap pembentukan karakter anak?
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Berdasarkan
rumusan masalah diatas penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan
mengenai fungsi keluarga
2. Menjelaskan
mengenai pengaruh keluarga terhadap perkembangan karakter seorang anak.
3. Menjelaskan
peran keluarga dalam pembentukan karakter anak.
4. Untuk
mengerti pentingnya pendidikan karakter bagi anak .
5. Agar
orang tua dapat mengerti lingkungan yang baik untuk anak.
D. MANFAAT
1. Berharap
agar para orangtua memahami parenting yang baik dan benar
2. Sebagai
bahan evaluasi para orang tua untuk meningkatkan kesadaran parenting
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi
Keluarga
Menurut
Munandar (1985), pengertian keluarga dapat dilihat dalam arti kata yang sempit,
sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat
yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah),
isteri (ibu) dan anak-anak mereka. Sedangkan keluarga dalam arti kata yang
lebih luas misalnya keluarga RT, keluarga komplek, atau keluarga Indonesia.
Keluarga
adalah merupakan lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Di lingkungan
keluarga pertama-tama anak mendapat pengaruh, karena itu keluarga merupakan
lembaga pendidikan tertinggiyang bersifat informal dan kodrat. Pada keluarga
inilah anak mendapat asuhan dari orang tua menuju ke arah perkembangannya.
Keluarga
menjalankan peranannya sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk
karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat
berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu.
Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala
sesuatu berkembang. Kemampuan untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri,
berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang. Selain sebagai tempat berlindung,
keluarga juga memiliki fungsi sebagai berikut:
-Mempersiapkan
anak-anak bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma
aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi).
-Mengusahakan
terselenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi), sehingga keluarga
sering disebut unit produksi.
-Melindungi
anggota keluarga yang tidak produksi lagi (jompo).
-Meneruskan
keturunan (reproduksi).
Atau secara
lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ada beberapa
fungsi yang dapat dijalankan keluarga, sebagai berikut :
1. Fungsi biologis
Untuk
meneruskan keturunan.
Memelihara
dan membesarkan anak.
Memenuhi
kebutuhan gizi keluarga.
Memelihara
dan merawat anggota keluarga.
2. Fungsi Psikologis
Memberikan
kasih sayang dan rasa aman.
Memberikan
perhatian diantara anggota keluarga.
Membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
Memberikan
Identitas anggota keluarga.
3. Fungsi Sosialisasi
Membina
sosialisasi pada anak.
Membentuk
norma-norma perilaku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Meneruskan
nilai-nilai budaya keluarga.
4. Fungsi Ekonomi
Mencari
sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Pengaturan
penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Menabung
untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang,
misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua, dsb.
5. Fungsi Pendidikan
a. Menyekolahkan
anak untuk memberi pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku
anak sesuai bakat dan minat yang dimilikinya.
b. Mempersiapkan
anak-anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam
memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
c. Mendidik
anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Ahli lain membagi fungsi keluarga,
sebagai berikut :
6. Fungsi Pendidikan : Dalam hal ini
tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan
kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa.
7. Fungsi Sosialisasi anak : Tugas
keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan
anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
8. Fungsi Perlindungan: Tugas keluarga
dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik
sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
9. Fungsi Perasaan : Tugas keluarga dalam
hal ini adalah menjaga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana
anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama
anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan
keharmonisan dalam keluarga.
10. Fungsi Religius : Tugas keluarga dalam
fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga
yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk meyakinkan
bahwa ada kehidupan lain setelah dunia ini.
11. Fungsi
Ekonomis
Tugas kepala
keluarga dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam
memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk
mencari penghasilan, mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga.
12. Fungsi
Rekreatif
Tugas keluarga
dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi
yang penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga
sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita
tentang pengalaman masing-masing, dsb.
13. Fungsi
Biologis
Tugas
keluarga yang utama dalam hal ini adalah untuk meneruskan keturunan sebagai
generasi penerus. Menurut Kingslet Davis menyebutkan bahwa fungsi keluarga
ialah sebagai berikut :
-Reproduction,
yaitu menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk
kelestarian sistem sosial yang bersangkutan.
-Maintenance,
yaitu perawatan dan pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
-Placement,
memberi posisi sosial kepada setiap anggotanya, baik itu posisi sebagai kepala
rumah tangga maupun anggota rumah tangga, atau pun posisi-posisi lainnya.
-Sosialization,
pendidikan serta pewarisan nilai-nilai sosial sehingga anak-anak
kemudian dapat diterima dengan wajar sebagai anggota masyarakat.
-Economics,
mencukupi kebutuhan akan barang dan jasa dengan jalan produksi,
distribusi, dan konsumsi yang dilakukan di antara anggota keluarga.
C-are of the
ages, perawatan bagi anggota keluarga yang telah lanjut usianya.
-Political
center, memberikan posisi politik dalam masyarakat tempat tinggal.
-Physical
protection, memberikan perlindungan fisik terutama berupa sandang, pangan, dan
mperumahan bagi anggotanya.
B. Pengaruh /
Peran
Keluarga Terhadap Perkembangan Karakter Seorang Anak
Menurut
Papalia dan Old (1987), masa anak-anak dibagi menjadi lima tahap yaitu :
1. Masa
Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir.
2. Masa
Bayi dan Tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi,
di atas usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia
18 bulan sampai tiga tahun merupakan masa tatih. Saat
tatih inilah, anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta
kemandirian.
3. Masa
kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan
masa prasekolah.
4. Masa
kanak-kanak kedua, yaitu usia 6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa
sekolah.
5. Anak-anak
telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di
lingkungannya.
6. Masa
remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencari identitas dirinya dan
banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya
lepas dari kungkungan orang tua.
Peran kedua
orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain:
1. Kedua
orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak
mendapatkan cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada
saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka
akan bisa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua
orang tua terlalu ikut campur dalam urusan mereka atau mereka memaksakan
anak-anaknya untuk menaati mereka, maka perilaku kedua orang tua yang demikian
ini akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka.
2. Kedua
orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan
jiwa anak-anak. Karena hal ini akan menyebabkan pertumbuhan potensi dan
kreativitas akal anak-anak yang pada akhirnya keinginan dan Kemauan mereka
menjadi kuat dan hendaknya mereka diberi hak pilih.
3. Saling
menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak. Hormat di sini bukan berarti
bersikap sopan secara lahir akan tetapi selain ketegasan kedua orang tua,
mereka harus memperhatikan keinginan dan permintaan alami dan fitri anak-anak.
Saling menghormati artinya dengan mengurangi kritik dan pembicaraan negatif
sekaitan dengan kepribadian dan perilaku mereka serta menciptakan iklim kasih
sayang dan keakraban, dan pada waktu yang bersamaan kedua orang tua harus
menjaga hak-hak hukum mereka yang terkait dengan diri mereka dan orang lain.
Kedua orang tua harus bersikap tegas supaya mereka juga mau menghormati
sesamanya.
4.
Mewujudkan kepercayaan. Menghargai dan memberikan kepercayaan terhadap
anak-anak berarti memberikan penghargaan dan kelayakan terhadap mereka, karena
hal ini akan menjadikan mereka maju dan berusaha serta berani dalam bersikap.
Kepercayaan anak-anak terhadap dirinya sendiri akan menyebabkan mereka mudah
untuk menerima kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri mereka. Mereka
percaya diri dan yakin dengan kemampuannya sendiri. Dengan membantu orang lain
mereka merasa keberadaannya bermanfaat dan penting.
5.
Mengadakan perkumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak). Dengan
melihat keingintahuan fitrah dan kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu
tentang dirinya sendiri. Tugas kedua orang tua adalah memberikan informasi
tentang susunan badan dan perubahan serta pertumbuhan anak-anaknya terhadap
mereka. Selain itu kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang masalah
keyakinan, akhlak dan hukum-hukum fikih serta kehidupan manusia. Jika kedua
orang tua bukan sebagai tempat rujukan yang baik dan cukup bagi anak-anaknya
maka anak-anak akan mencari contoh lain; baik atau baik dan hal ini akan
menyiapkan sarana penyelewengan anak.
Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang
pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak
secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini
berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun
praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak
serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus
mengamalkannya.
C. Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak
Pentingnya
pendidikan karakter di sekolah adalah untuk membantu memaksimalkan
kemampuan kognitif pada anak. Pada dasarnya, pendidikan yang diterapkan pada
sekolah-sekolah menuntut untuk dapat memaksimalkan kemampuan dan kecakapan
kognitif. Jika memandang pengertian seperti yang telah dijelaskan di atas, ada
sebuah hal yang sangat penting yang sering kali terlewatkan oleh para guru,
yaitu mengenai pendidikan karakter. Pendidikan karakter memiliki peran yang
amat penting untuk menyeimbangkan antara kemampuan kognitif dengan kemampuan
psikologis.
Mengapa
perlu pendidikan karakter?
Ada beberapa
penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta
didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal
ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi
Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan
kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging),
misal pendidikan karakterjuga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan
relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000).
Sepanjang
sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan pada hakekatnya memiliki dua
tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan
membantu mereka menjadi manusia yang baik (good). Menjadikan manusia cerdas dan
pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi
orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit.
Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan
persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan
di mana pun.
Kenyataan
tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya
penyelengaraan pendidikan karakter. Rujukan kita sebagai orang yang beragama
(Islam misalnya) terkait dengan problem moral dan pentingnya pendidikan
karakter dapat dilihat dari kasus moral yang pernah menimpa kedua
Sebagai
kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat
keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian.
Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian
pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for
Character Education). Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian
multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Sebagai
aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara
utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter
semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang
tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter
semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana
seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan
norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Menurunnya
kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di
kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah
dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan
membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter
diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu –seperti rasa
hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil– dan membantu siswa untuk
memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
mereka sendiri.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Kata character berasal
dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar),
seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari
pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau
ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah
pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang?. Setelah
melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat
diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di
sekitar dirinya (Kevin Ryan, 1999: 5).
Williams
& Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai
“any deliberate
approach by which school personnel, often in conjunction with parents
and community members, help children and youth become caring, principled
and responsible”.
Maknanya
dari pengertian pendidikan karakter yaitu merupakan berbagai
usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan
bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu
anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli,
berpendirian, dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut
Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari pengertian
pendidikan karakter tersebut awalnya digunakan oleh National
Commission on Character Education (di Amerika) sebagai suatu istilah
payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan
masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek yang
penting dari pengembangan karakter moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan
karakter semestinya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengalami sifat-sifat tersebut secara langsung.
Tujuh Alasan
Perlunya Pendidikan Karakter
Menurut
Lickona ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan:
Merupakan
cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik
dalam kehidupannya;
Merupakan
cara untuk meningkatkan prestasi akademik;
Sebagian
siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain;
Mempersiapkan
siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat
yang beragam;
Berangkat
dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti
ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan
etos kerja (belajar) yang rendah;
Merupakan
persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja; dan
Mengajarkan
nilai-nilai budaya merupakan bagian dari kerja peradaban.
Bagaimana
Mendidik Aspek Karakter?
Pendidikan
bukan sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan
semata, melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa
yang bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan watak (karakter)
tidak bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu,
sebagai fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk
membentuk watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan
manifestasi dari peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi
tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik).
Secara
umum materi tentang pendidikan karakter dijelaskan oleh
Berkowitz, Battistich, dan Bier (2008: 442) yang melaporkan bahwa materi
pendidikan karakter sangat luas. Dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa
paling tidak ada 25 variabel yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan
karakter. Namun, dari 25 variabel tersebut yang paling umum dilaporkan dan
secara signifikan hanya ada 10, yaitu:
Perilaku
seksual
Pengetahuan
tentang karakter (Character knowledge)
Pemahaman
tentang moral sosial
Ketrampilan
pemecahan masalah
Kompetensi
emosional
Hubungan
dengan orang lain (Relationships)
Perasaan
keterikan dengan sekolah (Attachment to school)
Prestasi
akademis
Kompetensi
berkomunikasi
Sikap kepada
guru (Attitudes toward teachers).
Otten (2000)
menyatakan bahwa pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam seluruh
masyarakat sekolah sebagai suatu strategi untuk membantu mengingatkan
kembali siswa untuk berhubungan dengan konflik, menjaga siswa untuk tetap
selalu siaga dalam lingkungan pendidikan, dan menginvestasikan
kembali masyarakat untuk berpartisipasi aktif sebagai warga negara.
Peran
Konselor dalam Pendidikan Karakter di Sekolah
Jika pendidikan
karakter diselenggarakan di sekolah maka konselor sekolah akan
menjadi pioner dan sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena
konselor sekolah yang memang secara khusus memiliki tugas untuk membantu
siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah kesehatan
mental,
Konselor
sekolah harus mampu melibatkan semua pemangku kepentingan (siswa, guru
bidang studi, orang tua, kepala sekolah) di dalam mensukseskan
pelaksanaan programnya. Mulai dari program pelayanan dasar yang berupa
rancangan kurikulum bimbingan yang berisi materi tentang pendidikan
karakter, seperti kerja sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan,
membantu orang lain, persahabatan, cara belajar, menejemen konflik,
pencegahan penggunaan narkotika, dan sebagainya. Program perencanaan
individual berupa kemampuan untuk membuat pilihan, pembuatan keputusan,
dan seterusnya. Program pelayanan responsif yang antara lain berupa
kegiatan konseling individu, konseling kelompok.
D. Orang Tua Dapat Mengerti Lingkungan Yang Baik Untuk Anak.
Seorang anak
tentunya tidak langsung dapat mengenal alam sekitar mengerti dan memahami
segalanya dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan pendidikan keluarga,
pendidikan kelembagaan dan pendidikan di masyarakat. Keluarga sebagai komunitas
pertama memiliki peran penting dalam pembangunan mental dan karakteristik sang
anak. Di dalam keluarga, anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk
sosial. Interaksi yang terjadi bersifat dekat dan intim, segala sesuatu yang
diperbuat anak mempengaruhi keluarganya, dan sebaliknya apa yang didapati anak
dari keluarganya akan mempengaruhi perkembangan jiwa, tingkah laku, cara
pandang dan emosinya. Dengan demikian pola asuh yang diterapkan orang tua dalam
keluarganya memegang peranan penting bagi proses interaksi anak di lingkungan
masyarakat kelak.
“Kehidupan
keluarga yang senantiasa dibingkai dengan lembutnya cinta kasih dan nuansa
yang harmonis, dari sana akan hadirlah individi-individu dengan tumbuh
kembang yang wajar sebagaimana diharapkan. Sebaliknya keluarga yang dinding
kehidupannya dipahat dengan sentakan-sentakan, broken home, broken heart,
perlakuan sadis dan kekejaman tercerai berainya benang-benang kasih sayang dan
jalinan cinta, maka keluarga beginilah yang bakal alias cikal bakal menjadi
suplayer limbah-limbah kehidupan sosial dan sampah-sampah masyarakat yang
menyedihkan.
Tidak dapat
dipungkiri, jika dasar pendidikan yang menjadi landasan dan tongkat estafet
pendidikan anak selanjutnya adalah pendidikan keluarga. Apabila pondasi pendidikan
dibangun dengan kuat maka pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan
berhasil dengan baik, sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan,
sulit kiranya membangun pendidikan selanjutnya.
Gilbert
Highest dalam Jalaludin mengatakan bahwa: kebiasaan yang dimiliki anak-anak
sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur
hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan
pendidikan dari lingkungan keluarga (Gilbert Highest, 1961: 78).
Dari apa yang
diungkapkan Gilbert, kita dapat mengetahui memang pendidikan yang paling banyak
diterima anak adalah dari keluarga, bagaimana orang tua berprilaku akan selalu
menjadi perhatian anak, dan akan ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan
fitrahnya. Jika pendidikan yang baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal
baik yang dapat ditiru anak tersebut dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak
yang dididik dengan cemoohan dan ejekan dari setiap kegagalan yang ia dapati,
maka anak tersebut akan selalu hidup dalam ketakutan dan kegelisahan disebabkan
hasil perbuatannya yang tidak memuaskan orang tuanya.
Dalam
keluarga, seorang anak akan mendapati hal-hal yang tidak didapati di lingkungan
formal maupun lingkungan masyarakat, seperti perhatian yang penuh, kasih
sayang, belaian hangat kedua orang tua dan banyak hal lain lagi. Berbeda dengan
lingkungan sekolah dan masyarakat, keluarga menjadi motor penggerak
keberhasilan anak dalam mencapai inspirasi peergaulannya dengan teman-temannya
serta lingkungan masyarakat sekitar. Orang tua yang menanamkan rasa kasih
sayang dalam keluarga akan menimbulkan keharmonisan dalam interaksi dengan sang
anak. Segala permasalahan yang dijumpai anak akan mudah diketahui melalui
pendekatan secara personal.
Seorang anak
akan merasa termotivasi jika hasil jerih payah dan prestasinya dihargai orang
tua, sehingga keharmonisan hubungan keduanya memiliki peranan penting dalam
perkembangan anak tersebut dalam peningkatan prestasi belajar. Akan tetapi
terkadang kita jumpai orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anak dapat
memenuhi keinginan orang tuanya itu. Hal ini akan menimbulkan rasa keterpaksaan
pada diri anak baik dalam bidang prestasi, tugas maupun kewajibannya. Rasa
keterpaksaan itu akan mengakibatkan timbulnya rasa malas dan mematikan rasa
kesadaran diri dalam berbuat. Banyak kita dapati seorang anak takut gagal dalam
berprestasi, sebab dampak yang akan didapati dari kegagalannya berupa hukuman
maupun siksaan dari orang tuannya. Bagi sebagian anak yang tidak mendapatkan
perhatian dari orang tuannya, berprestasi adalah sesuatu hal yang tidak penting
baginya sebab segala tindakan yang ia lakukan tidak pernah dihiraukan oleh
orang tuanya, sehingga berprestasi ataupun tidak merupakan suatu hal yang
lumrah dan biasa saja.
Syamsu Yusuf
mengatakan: “Keluarga yang fungsional ditandai oleh karakteristik: (a)
saling memperhatikan dan mencintai (b) bersikap terbuka (c) orang tua mau
mendengarkan anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya (d)
ada “sharing” masalah atau pendapat diantara anggota keluarga
(e) mampu berjuang mengatasi hidupnya (f) saling menyesuaikan diri dan
mengakomodasi (g) orang tua melindungi/mengayomi anak (h) komunikasi antara
anggota keluarga berlangsung dengan baik (i) keluarga memenuhi kebutuhan
psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya (j) mampu beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi.
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, dalam keluarga terjadi proses interaksi antara
anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut
seperti mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk
mencapai kematangan sesuai yang diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu
memberikan dampak dalam mewarnai setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk
prilaku tertentu pada anak, seperti prilaku agresif yang sering terjadi.
Keharmonisan
dan rasa demokrasi tidak selalu seperti yang kita harapkan, hingga saat
sekarang ini masih banyak orang tua yang menerapkan kekerasan dalam mendidik
anaknya. Mereka beranggapan pendidikan yang keras akan dapat mewujudkan
keinginan dan harapannya, seperti prestasi, budi pekerti dan lain-lain. Namun
sebaliknya kenyataan yang kita jumpai justru bertolak belakang dengan
harapan-harapan yang diinginkan. Anak yang dididik keras akan timbul rasa tertekan
dan takut, ada juga anak yang diberi kebebasan sehingga anak tersebut malas dan
enggan untuk mencapai prestasi yang lebih baik, sebab tidak adanya perhatian
dan tanggapan dari orang tuannya atas apa yang yang diraihnya.
Pola Asuh
Pola asuh
berasal dari kata pola dan asuh. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata
pola mempunyai arti gambar yang dipakai untuk contoh batik; corak batik atau
tenun; ragi atau suri; potongan kertas yang dipakai model; sistem; cara kerja;
– permainan – pemerintahan, bentuk struktur yang tetap- kalimat; dalam puisi,
adalah sajak yang dinyatakan dengan bunyi gerak kata atau arti. Sedangkan Asuh
berarti menjaga merawat dan mendidik anak kecil; membimbing membantu dan
melatih, dsb; memimpin mengepalai, menyelenggarakan suatu badan atau
kelembagaan.
Kegiatan
pengasuhan banyak diartikan sebagai usaha dalam mendidik anak. Orang tua
sebagai pendidik memilih pola asuh yang sesuai dalam mempengaruhi perkembangan
anak, serta membimbingnya kepada kehidupan yang layak dan bermartabat. Proses
pengasuhan selalu bersifat dinamis dalam mencari bentuk atau pola asuh yang
lebih efektif dan baik. Banyak para ahli mengemukakan definisi dan
bentuk-bentuk pola asuh yang tepat. Laurrence Steinburg mendefinisikan;
Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang sesuai dengan kondisi psikologis
dengan unsur-unsur seperti kejujuran, empati, mengendalikan diri sendiri,
kebaikan hati, kerja sama, pengendalian diri, dan kebahagiaan. Pengasuhan yang
baik adalah pengasuhan yang membantu anak berhasil di sekolah, mendukung
perkembangan keingintahuan intelektual, motivasi belajar, dan keinginan untuk
mencapai sesuatu. Pengasuhan yang baik adalah yang menjauhkan anak dari prilaku
anti sosial, melakukan pelanggaran hukum ringan, serta pemakaian narkoba dan
alkohol. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang membantu melindungi anak
dari berkembangnya keresahan, depresi, gangguan makan dan berbagai masalah
psikologi lain.
Secara umum
dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengasuhan adalah
kegiatan dalam rangka mendidik, membimbing, mengarahkan anak, baik secara fisik
maupun mental, keyakinan hidup dan moral. Dalam hal ini ayah dan ibu memiliki
peran sebagai seorang pendidik dalam lingkungan keluarga dalam upaya
mengarahkan anak dalam prilaku dan norma-norma yang baik.
Tingkah laku
orang tua selalu menjadi tolak ukur anak dalam proses pendidikan dalam
keluarga. Anak akan meniru orang tua dalam bersikap dan berprilaku baik hal
tersbut disadari ataupun tidak. Semenjak dilahirkan ke dunia, anak akan meniru
prilaku orang tua dan tak ada yang dapat dilakukan orang tua untuk mencegah hal
tersebut. Kecenderungan seorang anak menirukan segala sesuatu yang muncul dari
prilaku orang tua disebabkan karena mereka memiliki keinginan yang kuat untuk
tumbuh berkembang menjadi seperti ibu dan ayahnya. Tidak jarang kita jumpai
orang tua yang melarang anaknya bertindak agresif, namun tidak disadari
orang tua tersebut melakukannya sehingga tidak menutup kemungkinan anak itu
melakukan tindakan yang sama pada teman atau pun keluarga yang lain.
Tugas
mendidik dan mengasuh anak tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam keluarga,
seperti pendidikan ketrampilan, pengetahuan, wawasan dan pengalaman. Oleh sebab
itu keluarga membutuhkan lembaga pendidikan lain yaitu pendidikan sekolah.
Dengan demikian pendidikan di sekolah merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan keluarga. Pendidikan di sekolah juga merupakan
penghubung antara kehidupan anak dalam keluarga dan kehidupan di masyarakat.
Akan tetapi
masuknya anak ke pendidikan sekolah tidak berarti orang tua telah selesai dalam
pengasuhan, justru sekolah menjadi mitra bagi orang tua dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan yang ada seiring kegiatan pengasuhan tersebut. Orang
tua akan menjadi lebih yakin dan mantap dalam mengikuti perkembangan anaknya.
Rasa yang sama juga akan muncul pada diri anak seiring keikutsertaan orang tua
dalam pendidikan sekolah. Hal penting yang dapat dilihat dari keikutsertaan
orang tua dalam pendidikan sekolah adalah orang tua dapat mengetahui segala
bentuk permasalahan anak di sekolah sehingga dapat bekerjasama dengan
guru untuk menyelesaikannya.
Keterlibatan
orang tua dalam sekolah bukan hanya dengan ikut membantu anak dalam mengerjakan
tugas rumahnya, melainkan lebih pada hubungan wali siswa-sekolah, baik pada
komite sekolah, bimbingan penyuluhan atau hal-hal yang berkenaan dengan
pendidikan anak di sekolah. Perhatian orang tua terhadap anak dapat diwujudkan
dengan membangun kebiasaan bekerja secara teratur dan disiplin pada setiap
tugas dan kewajiban sebagai seorang siswa.
Adapun dalam
lingkungan masyarakat, pergaulan dengan teman-teman sebaya memiliki pengaruh
yang kuat pada prilaku anak. Orang tua hendaknya dapat memberikan perhatian
yang baik pula. Pada masa kecil orang tua dapat mengatur pergaulan anak dan mengarahkannya
kepada teman-teman yang dianggap baik. Begitu pula pada masa remaja orang tua
dapat mengarahkan agar bergaul dengan anak-anak yang telah jelas memiliki latar
belakang baik dan prilkau yang baik pula.
Adapun
pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga pola:
1. Pola
Asuh Otoriter
2. Pola
Asuh Permisip
3. Pola
Asuh Demokrasi
Pola Asuh
Otoriter (PAO)
Setiap orang
tua pastilah menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna dan mencapai
kebahagiaan kelak. Akan tetapi dalam mengasuh tidak jarang kita mendapati orang
tua yang mengambil langkah dan sikap yang otoriter dalam mendidik anaknya.
Seringkali orang tua lebih mengedepankan kuatnya keinginan dan cita-cita agar
anak meraih keberhasilan di masa datang. Mereka selalu berfikir apa yang meraka
lakukan semata-mata demi kebaikan sang anak dan mengesampingkan perasaan dan
kondisi anak tersebut.
Pola asuh
otoriter juga sangat berpengaruh pada perkembangan mental anak. Orang tua
memiliki kebutuhan kuat untuk memegang kendali, namun pada dasarnya sikap
otoriter dimaksudkan untuk hal-hal yang baik. Orang tua tidak menginginkan
anaknya mengalami kegagalan, bahaya, ataupun sesuatu buruk yang menimpanya,
namun perkembangan mental anak akan terganggu, sebagaimana diungkapkan Laurence
berikut: “Pada akhirnya satu-satunya cara agar anak anda bisa benar-benar
sehat, bahagia dan sukses adalah jika anda memberikan kebebasan untuk mencoba
dan membuat keputusannya sendiri meskipun itu membuka kemungkinan dia akan
sakit hati dan kecewa. Pengasuhan yang baik melibatkan keseimbangan antara
keterlibatan dan kemandirian. Jika keduanya dilakukan secara berlebihan- jika
orang tua tidak peduli atau terlalu ikut campur- maka kesehatan mental akan
rusak.
Banyak hal
negatif yang akan timbul pada diri anak akibat sikap otoriter yang diterapkan
orang tua, seperti takut, kurang memiliki keyakinan diri, menjadi pembangkang,
penentang ataupun kurang aktif. Orang tua seperti itu selalu memberikan
pengawasan berlebih pada anak sehingga hal-hal yang kecil pun harus terlaksana
sesuai keinginannya. Disisi lain, orang tua tersebut lebih seperti polisi yang
selalu memberi pengawasan dan aturan-aturan tanpa mau mengerti anak.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa diantara hal-hal negatif yang akan timbul adalah
sikap penentang pada anak. Dari kelompok penentang dapat dikelompokkan menjadi
tiga tipe.
Pertama, tipe
penentang aktif. Mereka menjadi keras kepala, suka membantah dan membangkang
apa saja kehendak orang tua. Mereka marah karena orang tua tak menghargai
dirinya sebagai manusia. Untuk melawan jelas tak bisa karena sang “polisi”
punya kekuatan besar. Maka jalan yang dipilihnya adalah menyakiti hatinya.
Kedua, tipe
pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa tubuh kecilnya tidak mampu
menandingi kekuatan “Polisi” yang tak lain orang tuanya sendiri mereka memilih
sikap diam, tapi tidak juga mengikuti perintah.
Ketiga, tipe
selalu terlambat. Anak-anak seperti itu baru mau mengerjakan suatu perintah
setelah terlebih dahulu melihat orang tuannya jengkel, marah, dan mengomel
karena kemalasannya.
Pola Asuh
Permisif (PAP)
Orang tua
yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita menjadikan anaknya sebagai sampah
masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin. Namun terkadang kita masih
mendapati orang tua yang rela membiarkan anaknya tanpa bimbingan dan arahan.
Anak menjadi tak terarah, dan merasa orang tuanya telah memberikan kebebasan
sepenuhnya pada dirinya, sehingga setiap keputusan yang ia ambil adalah
sepenuhnya hak priadi yang tak seorang pun dapat mencampurinya.
Dalam
pendidikan sekolah, pola asuh permisif yang diterapkan orang tua akan memberi
dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa saja menjadi malas dan tidak
peduli dengan hasil belajar yang ia raih dikarenakan tidak adanya perhatian
dari orang tua. Orang tua merasa tidak mampu memberikan pendidikan dan
pengasuhan dengan baik sehingga menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada
sekolah. Mereka melupakan peran penting dalam keluarga sebagai pendidik,
pengasuh, pembimbing, pemberi motivasi, kasih sayang dan perhatian.
Seorang anak
yang berkembang tanpa batasan dan aturan dan perhatian akan mengalami
ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh teladan yang berakibat pada
beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau orang-orang terdekatnya dan
menjadikannya figur. Mengenai pola asuh Permisif, Diana Braumrind dalam Syamsu
Yusuf LN, menjelaskan sikap atau prilaku orang tua sebagai berikut:
1. Sikap
”Acceptance”nya tinggi, namun kontrolnya rendah
2. Memberi
kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/keinginannya
Profil
Prilaku Anak:
1. Bersikap
Impulsif dan Agresif
2. Suka
memberontak
3. Kurang
memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri
4. Suka
mendominasi
5. Tidak
jelas arah hidupnya
6. Prestasinya
rendah
Dapat
disimpulkan bahwa anak yang mendapati pengasuhan dari orang tuanya dengan pola
asuh permisif akan cinderung bersifat bebas tanpa aturan, dan memiliki emosi
yang tidak stabil dan meledak-ledak, sedangkan orang tua tidak lagi dianggap
sebagai sosok yang memiliki peran dan tauladan baginya. Ia menganggap bahwa apa
yang ia raih adalah bersumber dari pribadinya dan tidak ada yang dapat
memberikan aturan maupun larangan.
Pola Asuh
Demokrasi (PAD)
Hubungan
yang terjalin antara orang tua dan anak semestinya didasari prinsip saling
menghormati dan kasih sayang. Apabila orang tua selalu mengedepankan pendekatan
secara personal dengan curahan kasih sayang, maka akan terbentuklah kepercayaan
yang besar dalam diri anak. Anak akan bersikap terbuka kepada orang tuanya
sehingga segala permasalahan dapat dicari kunci penyelesaianya. Selain itu
orang tua lebih mudah memberi pengarahan dan nasihat serta meninggalkan
cara-cara paksaan dan intimidasi.
Prilaku anak
akan terbentuk secara bertahap menuju kepada kepribadian yang baik. Dorongan
yang kuat secara terus-menerus sangat diharapkan dari orang tua. Sosok orang
tua yang demokratis tidak mengedepankan kepentingan pribadinya, akan tetapi
tetap menghargai dan memperhatikan kepentingan anak sebagai seorang individu
diantara komunitas manusia. Dengan kata lain, orang tua selalu melihat
kepentingan bersama sebagai pembatas dari kebebasan seorang inividu.
Latar
belakang pengasuhan yang didapati anak tentulah sangat berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya, sebab hal-hal yang ia dapati dari pola pengasuhan
orang tuanya akan menjadi bekal sikap dan prilakunya pada kehidupannya kelak.
Keluarga
memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak.
Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai
kehidupan baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor
yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat
yang sehat.
Jadi, sudah
jelas bahwa pola asuh demokrasi sangat memberi dampak positif pada perkembangan
anak. Orang tua dapat mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada anak
secara baik dan sepenuhnya tanpa menggunakan cara-cara pemaksaan dan dan
kekerasan. Dalam hal ini, orang tua harus menguasai komunikasi yang tepat dalam
melakukan pendekatan agar proses pengasuhan dapat berjalan baik dan tidak
mempengaruhi mental maupun perkembangannya.
Pola asuh
demokrasi sangat mirip dengan apa yang dijelaskan Diana Baumrind Western dan
Lioyd, 1994: 359-360; Sigelmen dan Sheffer, 1995: 396 mengenai hasil
penelitiannya melalui observasi dan wawancara terhadap siswa taman kanak-kanak.
Ia menjelaskan tentang parenting stayle Pola Asuh, diantara tiga tipe;
Authoritarian, Permissive, dan Authorotative, tipe yang yang sama dengan pola
asuh demokrasi adalah Authoritative. Beberapa sikap yang diambil orang tua
dalam mengasuh dan mendidik anak yaitu:
1. Sikap
“Acceptance” dan kontrolnya tinggi
2. Bersikap
responsive tehadap kebutuhan anak
3. Mendorong
anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan
4. Memberikan
penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.
Profil
Prilaku Anak yang ditimbulkan:
1. Bersikap
bersahabat
2. Memiliki
rasa percaya diri
3. Mampu
mengendalikan diri Self Control
4. Bersikap
Sopan
5. Mau
bekerjasama
6. Memiliki
rasa ingin tahunya yang tinggi
7. Mempunyai
tujuan/arah hidup yang jelas
8. Berorientasi
terhadap prestasi
Dari paparan
diatas dapat dilihat bahwa sikap demokratis orang tua tercermin dari
tindakannya mau menghargai pribadi anak, serta menegur tindakan yang salah dari
prilakunya secara baik-baik seperti yang dikatakan Irawati Istadi: “Harus
dibedakan antara pribadi anak dengan prilaku bisa saja salah, tetapi pribadi
anak tetap senantiasa baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan
dari peran keluarga dalam mensukseskan pendidikan adalah keluarga merupakan
tempat pendidikan pertama dari anak. Dimana anak mendapatkan pendidikan sejak
dalam kandungan sampai dengan mendapatkan pendidikan formal.
Dalam
mensukseskan pendidikan, keluarga berperan dalam memberikan pendampingan dan
memberikan pilihan kepada anaknya untuk masalah pendidikan yang tepat sesuai
dengan karakteristik dari anak. Di samping itu, penciptaan suasana yang nyaman
dan aman dari keluarga kepada anaknya akan memberikan motivasi keluarga kepada
anak dalam menempuh pendidikannya.
B. Saran
Orang
tua merupakan panutan bagi anak-anaknya, untuk itu sebaiknya orang tua dapat
menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua juga harus membuka diri
terhadap perkembangan zaman dan teknologi saat ini. Anak-anak memiliki
pemikiran yang kritis terhadap sesuatu yang baru. Bila orang tua tidak membuka
diri terhadap perkembangan yang ada, kelak akan menuai kesulitan dalam menjawab
pertanyaan dari anak. Pada akhirnya berbuah kebohongan dan secara tidak
langsung menanamkannya pada anak.
C. Analisis
Bila seorang
anak dibesarkan pada keluarga pembunuh, maka ia akan menjadi pembunuh. Bila
seorang anak dibesarkan melalui cara-cara kasar, maka ia akan menjadi
pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak dibesarkan pada keluarga yang penuh
cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi cemerlang yang memilki
budi pekerti luhur. Keluarga sebagai tempat bernaung, merupakan wadah penempaan
karakter individu.
Pada masa
sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah karena terjadi perubahan sosial,
politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya
anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam
pendidikan. Tidak seperti fungsi keluarga pada masa lalu yang merupakan
kesatuan produktif sekaligus konsumtif. Ketika kebijakan ekonomi pada zaman
modern sekarang ini mendasarkan pada aturan pembagian kerja yang
terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung jawab keluarga
beralih kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu.
Uraian
tersebut cukup menjelaskan apa arti keluarga yang sesungguhnya. Keluarga bukan
hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Lebih dari itu,
keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral serta penempaan karakter
manusia. Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menjalani hidup bergantung
pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam menanamkan ajaran moral
kehidupan. Keluarga lebih dari sekedar pelestarian tradisi, kelurga bukan hanya
menyangkut hubungan orang tua dengan anak, keluarga merupakan wadah mencurahkan
segala inspirasi. Keluarga menjadi tempat pencurahan segala keluh kesah.
Keluarga merupakan suatu jalinan cinta kasih yang tidak akan pernah terputus.
DAFTAR
PUSTAKA
https://wimelimonica.wordpress.com/peran-keluarga-terhadap-perkembangan-karakter-anak/
http://shindy-intan.blogspot.co.id/2012/10/peranan-keluarga-dalam-pembentukan.html
http://www.slideshare.net/dianastandjung/pengaruh-pendidikan-keluarga-terhadap-kepribadian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar